Sabtu, 05 Mei 2012

Cinta Kasih Kepada Ibu


Ibu
Cinta kasihmu tak kan terganti
Tak kan lekang oleh waktu
Kasih sayang mu tiada henti
Tanpa batas untuk ku
Ibu
kau inspirasiku
Cermin bagi masa depan  bagiku
Segalanya telah kuberikan untukmu
Tiada yang tak mungkin untukmu
Ibu
Dentingan nafasmu menyelemuti hari hingga senja
Tak tersimpan setitik kelelahan di wajahmu
Tak ada sesal saat semua harus kau lalui
Langkahmu tak pernah henti
Melangkah untukku
Ibu
Kasihmu tak kunjung redah
Walau dalam lelah
Kau tetap merangkai kata bijak untukku
Mengurai senyum
Di setiap langkahku
Mendera doa
Di setiap helai nafasku
Ibu
kau mutiara di hatiku
Relung hatimu sangat indah
Hingga aku tak mampu menggapai dalamnya
Tetes air matamu menguntai
Sebuah asa untukku
Ibu
kau menegurku ketika aku salah
Engkau mengigatkanku ketika ku lupa
Engkau menghiburku ketika ku sedih
Engkaulah yang menyembuhkanku ketika aku terluka..
Ibu
kini aku telah dewasa..
Berusaha mengejar dan meraih cita citaku
Berharap kan menjadi orang yang berguna
Demi mewujudkan dan harapan impian keluarga..
Terimakasih ibu
Engkaulah segalanya bagiku
Tanpamu aku bukanllah apa apa
Kasih sayangmu kepadaku tak kan terbalas sepajang masa

Jumat, 04 Mei 2012

My Data Base SQL


                      1. create DataBase My sql


      2 input My Sql

Rabu, 02 Mei 2012

Pandangan Hidup Orang Sunda (prosa)


Orientasi nilai budaya manusia dari berbagai suku bangsa dan golongan sosial serta penelitian tentang sampai dimanakah nilai budaya itu bisa menghambat atau mendorong pembangunan nasional, dapat dilakukan dengan menggunakan konsep dasar tertentu. Konsep dasar yang dipakai adalah konsep sistem nilai budaya (cultural values), Dengan demikian, sistem nilai budaya itu juga berfungsi sebagai suatu pedoman orientasi bagi segala tindakan manusia dalam hidup.
Cara berbagai kebudayaan di dunia itu, dalam mengonsepsikan masalah tersebut bisa berbeda-beda. Meski dipahami bahwa kemungkinan untuk bervariasi itu terbatas adanya. Seperti pada masalah pertama, ada kebudayaan yang memandang hidup manusia itu pada hakikatnya suatu hal yang buruk dan menyedihkan dan karena itu harus dihindari. Kebudayaan-kebudayaan yang terpengaruh agama Budha misalnya, dapat disangka mengonsepsikan hidup itu sebagai suatu hal yang buruk. Pola tindakan manusia akan mementingkan segala usaha untuk menuju ke arah tujuan untuk bisa memadamkan hidup itu dan meremehkan segala tindakan yang hanya mengekalkan rangkaian kelahiran kembali.
Adapun kebudayaan lain memandang hidup manusia itu pada hakikatnya merupakan suatu hal yang baik. Ada pula yang memandang hidup manusia itu pada hakikatnya buruk, tetapi manusia dapat mengusahakan untuk menjadikan hidup itu suatu hal yang baik dan menggembirakan. Masalah kedua, ada kebudayaan yang memandang bahwa karya manusia itu pada hakikatnya bertujuan untuk memungkinkannya hidup. Kebudayaan lain menganggap tujuan dari karya manusia itu untuk memberikan kepadanya suatu kedudukan dalam masyarakat. Ada juga kebudayaan yang menganggap karya manusia itu sebagai gerak hidup yang harus menghasilkan lebih banyak karya lagi.
Masalah ketiga, ada kebudayaan yang memandang bahwa masa lampau adalah sesuatu yang penting dalam kehidupan manusia. Dalam kebudayaan seperti itu, orang akan sering mengambil, dalam tindakannya, sejumlah contoh dan kejadian dalam masa lampau itu. Sebaliknya, ada pula kebudayaan yang hanya punya suatu pandangan waktu yang sempit. Manusia dari suatu kebudayaan serupa itu, tidak akan memusingkan diri dengan memikirkan masa yang lampau maupun masa yang akan datang. Mereka hidup menurut keadaan yang ada pada masa sekarang ini. Kebudayaan lain justru mementingkan pandangan yang berorientasi sejauh mungkin terhadap masa yang akan datang. Dalam kebudayaan serupa itu perencanaan hidup menjadi suatu hal yang amat penting.
Masalah keempat, ada kebudayaan yang memandang alam itu suatu hal yang begitu dahsyat sehingga manusia itu pada hakikatnya hanya bersifat menyerah, tanpa ada banyak yang dapat dilakukan. Sebaliknya ada pula kebudayaan lain yang memandang alam itu suatu hal yang bisa dilawan oleh manusia dan mewajibkan manusia untuk selalu berusaha menaklukkan alam. Kebudayaan lain menganggap bahwa manusia itu hanya bisa berusaha mencari keselarasan dengan alam.
Masalah kelima, ada kebudayaan yang amat mementingkan hubungan vertikal antara manusia dan sesamanya. Dalam pola kelakuannya, manusia yang hidup dalam suatu kebudayaan serupa itu, akan berpedoman kepada tokoh-tokoh pemimpin, orang-orang senior, atau orang-orang atasan. Kebudayaan lain lebih mementingkan hubungan horizontal antara manusia dengan sesamanya.
Orang yang berada dalam kebudayaan itu akan sangat merasa bergantung kepada sesamanya dan akan upaya memelihara hubungan baik dengan tetangganya dan sesamanya merupakan suatu hal yang amat terpuji. Kebudayaan lainnya tidak membenarkan anggapan bahwa manusia harus tergantung orang lain dalam hidupnya. Kebudayaan seperti itu, yang amat mementingkan individualisme, menilai tinggi anggapan bahwa manusia itu harus berdiri sendiri dalam hidupnya dan sedapat mungkin mencapai tujuannya dengan sedikit mungkin bantuan dari orang lain .
A. Pandangan Hidup Orang Sunda
Disebutkan bahwa pandangan hidup orang Sunda itu terbagi kepada tiga bagian. Bagian pertama tecermin dalam tradisi lisan dan sastra Sunda yang berasal dari kalangan lapisan atas (elite).
Asilnya disimpulkan bahwa pandangan hidup orang Sunda itu terdiri atas: (1) manusia sebagai pribadi; (2) manusia dengan masyarakat; (3) manusia dengan alam; (4) manusia dengan Tuhan; dan (5) manusia dalam mengejar kemajuan lahir dan kepuasan batin. Penelitian ini sampai pada adanya dua pandangan, yaitu yang pertama, pandangan yang membagi manusia menjadi dua golongan ialah golongan penguasa dan golongan rakyat, sedangkan yang kedua, tidak membedakan apakah seseorang itu termasuk penguasa ataukah bukan sehingga berlaku umum.
Dari analisis terhadap bahan-bahan yang diteliti itu dapat diidentifikasikan sejumlah sifat khas yang dianggap baik dan tidak baik oleh orang Sunda. Semuanya digolongkan kepada empat kategori besar, yaitu (1) akal; (2) budi; (3) semangat; dan (4) tingkah laku.
Dalam kategori akal yang dianggap baik ialah sifat-sifat pintar, pandai, cerdas, cerdik, arif, berpengalaman luas, dan menjunjung tinggi kebenaran, sedangkan yang tidak baik adalah bodoh, banyak bingung, suka bohong, membenarkan yang bohong, pandai membohongi orang, dan terlalu benar (dalam pengertian tidak surti). Dalam kategori budi ada 31 macam sifat yang baik, antara lain jujur, suci, punya pendirian, takwa, tidak takabur, siger tengah (tidak ekstrem), bageur(orang baik), bijaksana, berjiwa kerakyatan, punya rasa malu, taat pada orang tua, punya harga diri, setia, bisa dipercaya, dll. Sementara sifat yang tidak baik antara lain, pendendam, tidak berperasaan, tidak punya rasa malu, tidak tahu berterima kasih, dan takabur.
Dalam kategori semangat, sifat yang dipandang baik ada 18 macam, antara lain punya idealisme, sabar, percaya kepada takdir, tabah, punya semangat belajar, mau berikhtiar, rajin, lebih baik mati daripada hidup hina, berani, bersifat satria, ulet, tahan godaan, khusuk dalam berdoa, sedangkan yang dianggap tidak baik, antara lain merasa tidak berdaya, menyiksa diri sendiri, pengecut, penakut, serakah, dan menyalahgunakan kedudukan.
Dalam kategori tingkah laku, sifat yang dianggap baik ada 38 macam, antara lain, sederhana, matang perhitungan, suka menolong, sopan, waspada, teliti, tahu diri, ramah, tidak licik, menepati janji, hemat, tidak banyak bicara, punya keterampilan, dan lain-lain. Sementara sifat yang tidak baik ada 59 macam, antara lain, suka menonjolkan diri, sombong, berpakaian berlebihan, malas, tidak mau berusaha, suka bertengkar, suka mencuri, dengki, menipu, licik, pencemburu, dijajah materi, cerewet, bicara sembarangan, usilan terhadap orang lain, suka menasihati orang lain, tidak menghargai orang lain, selingkuh, boros, dan lain-lain.
Peneliti pun mengidentifikasikan pandangan hidup orang Sunda tentang hubungan manusia dengan masyarakat (pergaulan antarjenis, pergaulan dalam lingkungan keluarga dalam masyarakat luas). Tentang hubungan manusia dengan alam (alam nyata, dan alam gaib) diidentifikasikan bahwa orang Sunda memandang lingkungan hidupnya bukan sebagai sesuatu yang harus ditundukkan, melainkan harus dihormati, diakrabi, dipelihara, dan dirawat. Sementara tentang manusia dengan Tuhan (menurut uga dan menurut adat istiadat) dapat diidentifikasikan bahwa meskipun sekarang umumnya memeluk agama Islam, masih banyak kepercayaan pra-Islam yang masih menjadi pegangan walaupun hasil analisis data menyimpulkan bahwa orang Sunda amat mengakui akan kekuasaan Tuhan.
Pada penelitian tersebut, pandangan hidup orang Sunda tercermin dalam kehidupan masyarakat Sunda dewasa ini.  penelitian tahap  ini dilakukan dengan mengadakan kuesioner terhadap orang Sunda di enam wilayah, yaitu 4 wilayah pedesaan (Sukabumi, Sumedang, Garut dan Tasikmalaya) dan 3 wilayah kota (Cianjur, Sumedang, Bandung). Pertanyaan yang diajukan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya berkenaan dengan pandangan orang Sunda mengenai, (1) manusia sebagai pribadi, (2) manusia dengan Tuhan; (3) manusia dengan alam; dan (4) tentang mengejar kemajuan lahir dan kepuasaan batin.
Untuk mengetahui apakah terjadi pergeseran atau tidak terhadapnya, hasil angket itu ternyata menunjukkan bahwa pada umumnya terjadi pergeseran dalam setiap aspek yang ditanyakan. Akan tetapi tidak terjadi perubahan yang besar. Pandangan hidup berkenaan dengan manusia sebagai pribadi, dan dalam hubungannya dengan Tuhan dan manusia dalam mengejar kemajuan lahir dan kepuasan batin, dapat dikatakan tetap. Perubahan terjadi pada aspek manusia dengan alam dan manusia dengan masyarakat, tetapi itu pun tidak sama dalam semua hal, tergantung wilayah dan aspeknya. Tak tampak perbedaan yang mencolok antara pandangan hidup orang Sunda dewasa ini. Dengan tetap berakar pada tradisinya, telah dan sedang mengalami pergeseran dan perubahan itu, perubahan mengarah kepada pandangan yang lebih waspada, lebih bertauhid dalam beragama, lebih realistis dalam bermasyarakat dan lebih memahami aturan alam.
B. Perguruan Tinggi Agama Islam dan Islam Sunda
Secara umum, masyarakat Jawa Barat beretnis Sunda dan mayoritasnya pemeluk agama Islam. Berdasarkan hal tersebut dapat dimunculkan sejumlah gagasan untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap berkenaan dengan hubungan antara Islam sebagai agama dan Sunda sebagai etnis terbesar di Jawa Barat ini. Untuk menjelaskan hubungan itu pula, banyak aspek yang bisa diteliti.
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Gunung Djati Bandung adalah sebuah perguruan tinggi Islam yang terletak di ibu kota Provinsi Jawa Barat. Perguruan tinggi ini, karena mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam di lingkungan masyarakat Sunda, sudah sepantasnya menyadari akan hal tersebut. Oleh karena itu, kegiatan yang didesain perguruan tinggi ini diusahakan agar memiliki nilai tambah; tidak hanya sekedar membahas masalah akademik murni.
Kegiatan yang dilakukan, diupayakan dapat menghasilkan dampak sinergi yang positif, baik dunia akademik secara intern, maupun bagi kehidupan masyarakat Sunda di Provinsi Jawa Barat ini pada umumnya. Masalah tersebut dapat diklasifikasikan, secara fakultatif, di IAIN Sunan Gunung Djati Bandung. Seperti, untuk Fakultas Ushuluddin, dapat diungkap masalah yang berkenaan dengan konsep ketuhanan orang Sunda. Untuk Fakultas Syari‘ah, dapat diungkap masalah yang berkenaan dengan Hukum Islam dan Pranata Sosial dan lain-lain.
Sebagai contoh, bagaimana hubungan yang terjadi antara penyebaran Islam dengan pelembagaan hukum kewarisan Islam, dapat dilihat dari penelitian Cik Hasan Bisri dkk. (1992). Dengan mengambil kasus Desa di Cinanjung, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang, yang dihuni oleh masyarakat petani (peasent society), penelitian ini menggambarkan penyebarluasan dan pelembagaan hukum kewarisan Islam, sebagai rangkaian dari dakwah Islamiah secara kultural, berlangsung hampir bersamaan dengan masuk dan berkembangnya agama Islam di desa itu. Proses itu mengalami penyesuaian dan penyelarasan dengan kebudayaan setempat.
Kenyataan demikian terlihat dalam pola distribusi harta peninggalan (tirkah) yang dikenal oleh masyarakat setempat sebagai sumun (Arab: tsumun: seperdelapan). Ia merupakan suatu pemberian dari ahli waris, terutama anak, kepada perempuan (janda) dari harta peninggalan suaminya yang meninggalkan anak atau yang tidak meninggalkan anak. Disebut pemberian, karena menurut ketentuan hukum kewarisan Islam janda itu memiliki hak warisan dari harta peninggalan suaminya.
Oleh karena sumun merupakan suatu pemberian, maka bagian harta yang diperoleh janda itu tidak ditentukan secara pasti. Sedangkan menurut hukum kewarisan Islam, ia merupakan hak janda bila muwarits meninggalkan anak (Q. S. al-Nisa’: 12). Hal ini menunjukkan bahwa antara konsep sumun yang dianut oleh sebagian masyarakat dengan tsumun(seperdelapan) sebagaimana yang dimaksud dalam al-Qur’an berbeda makna, meskipun berasal dari gagasan yang sama. Ia mengalami pencampuran dengan kaidah sosial di dalam masyarakat tersebut.
“Pencampuran” hukum kewarisan Islam dengan kaidah lokal itu tampaknya sederhana. Namun di dalamnya mengandung kerumitan, terutama jika dilihat dari perspektif antropologis dan sosiologis. Dalam perspektif ini, di balik konsep sumun, tersirat keyakinan (kesepakatan tentang benar salah), nilai (kesepakatan tentang baik atau buruk), dan kaidah (kesepakatan tentang apa yang harus dan tidak mesti dilakukan). Dan secara sosiologis tersirat tentang posisi perempuan di dalam keluarga, baik kedudukannya sebagai istri (janda) maupun kedudukannya sebagai ibu. Kedua perspektif itu tercermin dalam sistem kewarisan yang berlaku dalam masyarakat itu.
Uraian di atas menunjukkan, bahwa penyebarluasan dan pelembagaan hukum kewarisan Islam itu telah berlangsung. Hal itu terbukti dengan adanya konsep sumun yang telah dikenal dan melembaga. Walau demikian, penerimaan dan penyelarasan terhadap gagasan itu terpaut dengan sistem sosial yang dianut, yaitu dengan kaidah dan struktur sosial masyarakat setempat. Hal ini menunjukkan, pola distribusi harta peninggalan mengalami keragaman. Sumun menerima unsur lain, sebagai ‘illat sehingga bersifat luwes. Ia beralih kedudukan, dari hak yang memola menjadi pemberian yang “tidak memola” .
Dari sejumlah ilustrasi di atas, terbuka peluang untuk dilakukan sejumlah penelitian terhadap aspek hukum dan pranata sosial pada masyarakat Sunda di Jawa Barat ini. Penelitian terhadap aspek-aspek lain, seperti telah disebutkan di muka, juga dapat dilakukan sesuai dengan permasalahan yang ada. Tinggal siapa yang melakukan dan kapan penelitian itu dilakukan? Jawabannya dikembalikan kepada para peneliti, akademisi, atau intelektual yang memiliki ketertarikan dan kepedulian terhadap keislaman dan kesundaan itu sendiri.