Orientasi
nilai budaya manusia dari berbagai suku bangsa dan golongan sosial serta
penelitian tentang sampai dimanakah nilai budaya itu bisa menghambat atau
mendorong pembangunan nasional, dapat dilakukan dengan menggunakan konsep dasar
tertentu. Konsep dasar yang dipakai adalah konsep sistem nilai budaya (cultural
values), Dengan demikian, sistem nilai budaya itu juga berfungsi sebagai
suatu pedoman orientasi bagi segala tindakan manusia dalam hidup.
Cara
berbagai kebudayaan di dunia itu, dalam mengonsepsikan masalah tersebut bisa
berbeda-beda. Meski dipahami bahwa kemungkinan untuk bervariasi itu terbatas
adanya. Seperti pada masalah pertama, ada kebudayaan yang memandang hidup
manusia itu pada hakikatnya suatu hal yang buruk dan menyedihkan dan karena itu
harus dihindari. Kebudayaan-kebudayaan yang terpengaruh agama Budha misalnya,
dapat disangka mengonsepsikan hidup itu sebagai suatu hal yang buruk. Pola
tindakan manusia akan mementingkan segala usaha untuk menuju ke arah tujuan
untuk bisa memadamkan hidup itu dan meremehkan segala tindakan yang hanya
mengekalkan rangkaian kelahiran kembali.
Adapun
kebudayaan lain memandang hidup manusia itu pada hakikatnya merupakan suatu hal
yang baik. Ada pula yang memandang hidup manusia itu pada hakikatnya buruk,
tetapi manusia dapat mengusahakan untuk menjadikan hidup itu suatu hal yang
baik dan menggembirakan. Masalah kedua, ada kebudayaan yang memandang bahwa
karya manusia itu pada hakikatnya bertujuan untuk memungkinkannya hidup.
Kebudayaan lain menganggap tujuan dari karya manusia itu untuk memberikan
kepadanya suatu kedudukan dalam masyarakat. Ada juga kebudayaan yang menganggap
karya manusia itu sebagai gerak hidup yang harus menghasilkan lebih banyak
karya lagi.
Masalah
ketiga, ada kebudayaan yang memandang bahwa masa lampau adalah sesuatu yang
penting dalam kehidupan manusia. Dalam kebudayaan seperti itu, orang akan
sering mengambil, dalam tindakannya, sejumlah contoh dan kejadian dalam masa
lampau itu. Sebaliknya, ada pula kebudayaan yang hanya punya suatu pandangan
waktu yang sempit. Manusia dari suatu kebudayaan serupa itu, tidak akan
memusingkan diri dengan memikirkan masa yang lampau maupun masa yang akan
datang. Mereka hidup menurut keadaan yang ada pada masa sekarang ini.
Kebudayaan lain justru mementingkan pandangan yang berorientasi sejauh mungkin
terhadap masa yang akan datang. Dalam kebudayaan serupa itu perencanaan hidup
menjadi suatu hal yang amat penting.
Masalah
keempat, ada kebudayaan yang memandang alam itu suatu hal yang begitu dahsyat
sehingga manusia itu pada hakikatnya hanya bersifat menyerah, tanpa ada banyak
yang dapat dilakukan. Sebaliknya ada pula kebudayaan lain yang memandang alam
itu suatu hal yang bisa dilawan oleh manusia dan mewajibkan manusia untuk
selalu berusaha menaklukkan alam. Kebudayaan lain menganggap bahwa manusia itu
hanya bisa berusaha mencari keselarasan dengan alam.
Masalah
kelima, ada kebudayaan yang amat mementingkan hubungan vertikal antara manusia
dan sesamanya. Dalam pola kelakuannya, manusia yang hidup dalam suatu kebudayaan
serupa itu, akan berpedoman kepada tokoh-tokoh pemimpin, orang-orang senior,
atau orang-orang atasan. Kebudayaan lain lebih mementingkan hubungan horizontal
antara manusia dengan sesamanya.
Orang
yang berada dalam kebudayaan itu akan sangat merasa bergantung kepada sesamanya
dan akan upaya memelihara hubungan baik dengan tetangganya dan sesamanya
merupakan suatu hal yang amat terpuji. Kebudayaan lainnya tidak membenarkan
anggapan bahwa manusia harus tergantung orang lain dalam hidupnya. Kebudayaan seperti
itu, yang amat mementingkan individualisme, menilai tinggi anggapan bahwa
manusia itu harus berdiri sendiri dalam hidupnya dan sedapat mungkin mencapai
tujuannya dengan sedikit mungkin bantuan dari orang lain .
A.
Pandangan Hidup Orang Sunda
Disebutkan
bahwa pandangan hidup orang Sunda itu terbagi kepada tiga bagian. Bagian
pertama tecermin dalam tradisi lisan dan sastra Sunda yang berasal dari
kalangan lapisan atas (elite).
Asilnya
disimpulkan bahwa pandangan hidup orang Sunda itu terdiri atas: (1) manusia
sebagai pribadi; (2) manusia dengan masyarakat; (3) manusia dengan alam; (4)
manusia dengan Tuhan; dan (5) manusia dalam mengejar kemajuan lahir dan
kepuasan batin. Penelitian ini sampai pada adanya dua pandangan, yaitu yang
pertama, pandangan yang membagi manusia menjadi dua golongan ialah golongan
penguasa dan golongan rakyat, sedangkan yang kedua, tidak membedakan apakah
seseorang itu termasuk penguasa ataukah bukan sehingga berlaku umum.
Dari
analisis terhadap bahan-bahan yang diteliti itu dapat diidentifikasikan
sejumlah sifat khas yang dianggap baik dan tidak baik oleh orang Sunda.
Semuanya digolongkan kepada empat kategori besar, yaitu (1) akal; (2) budi; (3)
semangat; dan (4) tingkah laku.
Dalam
kategori akal yang dianggap baik ialah sifat-sifat pintar, pandai, cerdas,
cerdik, arif, berpengalaman luas, dan menjunjung tinggi kebenaran, sedangkan
yang tidak baik adalah bodoh, banyak bingung, suka bohong, membenarkan yang
bohong, pandai membohongi orang, dan terlalu benar (dalam pengertian tidak surti).
Dalam kategori budi ada 31 macam sifat yang baik, antara lain jujur, suci,
punya pendirian, takwa, tidak takabur, siger tengah (tidak
ekstrem), bageur(orang baik), bijaksana, berjiwa kerakyatan, punya
rasa malu, taat pada orang tua, punya harga diri, setia, bisa dipercaya, dll.
Sementara sifat yang tidak baik antara lain, pendendam, tidak berperasaan,
tidak punya rasa malu, tidak tahu berterima kasih, dan takabur.
Dalam
kategori semangat, sifat yang dipandang baik ada 18 macam, antara lain punya idealisme,
sabar, percaya kepada takdir, tabah, punya semangat belajar, mau berikhtiar,
rajin, lebih baik mati daripada hidup hina, berani, bersifat satria, ulet,
tahan godaan, khusuk dalam berdoa, sedangkan yang dianggap tidak baik, antara
lain merasa tidak berdaya, menyiksa diri sendiri, pengecut, penakut, serakah,
dan menyalahgunakan kedudukan.
Dalam
kategori tingkah laku, sifat yang dianggap baik ada 38 macam, antara lain,
sederhana, matang perhitungan, suka menolong, sopan, waspada, teliti, tahu
diri, ramah, tidak licik, menepati janji, hemat, tidak banyak bicara, punya
keterampilan, dan lain-lain. Sementara sifat yang tidak baik ada 59 macam,
antara lain, suka menonjolkan diri, sombong, berpakaian berlebihan, malas,
tidak mau berusaha, suka bertengkar, suka mencuri, dengki, menipu, licik,
pencemburu, dijajah materi, cerewet, bicara sembarangan, usilan terhadap orang
lain, suka menasihati orang lain, tidak menghargai orang lain, selingkuh,
boros, dan lain-lain.
Peneliti
pun mengidentifikasikan pandangan hidup orang Sunda tentang hubungan manusia
dengan masyarakat (pergaulan antarjenis, pergaulan dalam lingkungan keluarga
dalam masyarakat luas). Tentang hubungan manusia dengan alam (alam nyata, dan
alam gaib) diidentifikasikan bahwa orang Sunda memandang lingkungan hidupnya
bukan sebagai sesuatu yang harus ditundukkan, melainkan harus dihormati,
diakrabi, dipelihara, dan dirawat. Sementara tentang manusia dengan Tuhan
(menurut uga dan menurut adat istiadat) dapat
diidentifikasikan bahwa meskipun sekarang umumnya memeluk agama Islam, masih
banyak kepercayaan pra-Islam yang masih menjadi pegangan walaupun hasil
analisis data menyimpulkan bahwa orang Sunda amat mengakui akan kekuasaan
Tuhan.
Pada
penelitian tersebut, pandangan hidup orang Sunda tercermin dalam kehidupan
masyarakat Sunda dewasa ini. penelitian
tahap ini dilakukan dengan mengadakan
kuesioner terhadap orang Sunda di enam wilayah, yaitu 4 wilayah pedesaan
(Sukabumi, Sumedang, Garut dan Tasikmalaya) dan 3 wilayah kota (Cianjur,
Sumedang, Bandung). Pertanyaan yang diajukan berdasarkan hasil penelitian
sebelumnya berkenaan dengan pandangan orang Sunda mengenai, (1) manusia sebagai
pribadi, (2) manusia dengan Tuhan; (3) manusia dengan alam; dan (4) tentang
mengejar kemajuan lahir dan kepuasaan batin.
Untuk
mengetahui apakah terjadi pergeseran atau tidak terhadapnya, hasil angket itu
ternyata menunjukkan bahwa pada umumnya terjadi pergeseran dalam setiap aspek
yang ditanyakan. Akan tetapi tidak terjadi perubahan yang besar. Pandangan
hidup berkenaan dengan manusia sebagai pribadi, dan dalam hubungannya dengan
Tuhan dan manusia dalam mengejar kemajuan lahir dan kepuasan batin, dapat
dikatakan tetap. Perubahan terjadi pada aspek manusia dengan alam dan manusia
dengan masyarakat, tetapi itu pun tidak sama dalam semua hal, tergantung
wilayah dan aspeknya. Tak tampak perbedaan yang mencolok antara pandangan hidup
orang Sunda dewasa ini. Dengan tetap berakar pada tradisinya, telah dan sedang
mengalami pergeseran dan perubahan itu, perubahan mengarah kepada pandangan
yang lebih waspada, lebih bertauhid dalam beragama, lebih realistis dalam
bermasyarakat dan lebih memahami aturan alam.
B.
Perguruan Tinggi Agama Islam dan Islam Sunda
Secara
umum, masyarakat Jawa Barat beretnis Sunda dan mayoritasnya pemeluk agama Islam.
Berdasarkan hal tersebut dapat dimunculkan sejumlah gagasan untuk memperoleh
gambaran yang lebih lengkap berkenaan dengan hubungan antara Islam sebagai
agama dan Sunda sebagai etnis terbesar di Jawa Barat ini. Untuk menjelaskan
hubungan itu pula, banyak aspek yang bisa diteliti.
Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Gunung Djati Bandung adalah sebuah perguruan
tinggi Islam yang terletak di ibu kota Provinsi Jawa Barat. Perguruan tinggi
ini, karena mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam di lingkungan masyarakat Sunda,
sudah sepantasnya menyadari akan hal tersebut. Oleh karena itu, kegiatan yang
didesain perguruan tinggi ini diusahakan agar memiliki nilai tambah; tidak
hanya sekedar membahas masalah akademik murni.
Kegiatan
yang dilakukan, diupayakan dapat menghasilkan dampak sinergi yang positif, baik
dunia akademik secara intern, maupun bagi kehidupan masyarakat Sunda di
Provinsi Jawa Barat ini pada umumnya. Masalah tersebut dapat diklasifikasikan,
secara fakultatif, di IAIN Sunan Gunung Djati Bandung. Seperti, untuk Fakultas
Ushuluddin, dapat diungkap masalah yang berkenaan dengan konsep ketuhanan orang
Sunda. Untuk Fakultas Syari‘ah, dapat diungkap masalah yang berkenaan dengan
Hukum Islam dan Pranata Sosial dan lain-lain.
Sebagai
contoh, bagaimana hubungan yang terjadi antara penyebaran Islam dengan
pelembagaan hukum kewarisan Islam, dapat dilihat dari penelitian Cik Hasan
Bisri dkk. (1992). Dengan mengambil kasus Desa di Cinanjung, Kecamatan
Tanjungsari, Kabupaten Sumedang, yang dihuni oleh masyarakat petani (peasent
society), penelitian ini menggambarkan penyebarluasan dan pelembagaan hukum
kewarisan Islam, sebagai rangkaian dari dakwah Islamiah secara kultural,
berlangsung hampir bersamaan dengan masuk dan berkembangnya agama Islam di desa
itu. Proses itu mengalami penyesuaian dan penyelarasan dengan kebudayaan
setempat.
Kenyataan
demikian terlihat dalam pola distribusi harta peninggalan (tirkah) yang
dikenal oleh masyarakat setempat sebagai sumun (Arab: tsumun:
seperdelapan). Ia merupakan suatu pemberian dari ahli waris, terutama anak,
kepada perempuan (janda) dari harta peninggalan suaminya yang meninggalkan anak
atau yang tidak meninggalkan anak. Disebut pemberian, karena menurut ketentuan
hukum kewarisan Islam janda itu memiliki hak warisan dari harta peninggalan
suaminya.
Oleh
karena sumun merupakan suatu pemberian, maka bagian harta yang
diperoleh janda itu tidak ditentukan secara pasti. Sedangkan menurut hukum
kewarisan Islam, ia merupakan hak janda bila muwarits meninggalkan
anak (Q. S. al-Nisa’: 12). Hal ini menunjukkan bahwa antara konsep sumun yang
dianut oleh sebagian masyarakat dengan tsumun(seperdelapan)
sebagaimana yang dimaksud dalam al-Qur’an berbeda makna, meskipun berasal dari
gagasan yang sama. Ia mengalami pencampuran dengan kaidah sosial di dalam
masyarakat tersebut.
“Pencampuran”
hukum kewarisan Islam dengan kaidah lokal itu tampaknya sederhana. Namun di
dalamnya mengandung kerumitan, terutama jika dilihat dari perspektif
antropologis dan sosiologis. Dalam perspektif ini, di balik konsep sumun,
tersirat keyakinan (kesepakatan tentang benar salah), nilai (kesepakatan
tentang baik atau buruk), dan kaidah (kesepakatan tentang apa yang harus dan
tidak mesti dilakukan). Dan secara sosiologis tersirat tentang posisi perempuan
di dalam keluarga, baik kedudukannya sebagai istri (janda) maupun kedudukannya
sebagai ibu. Kedua perspektif itu tercermin dalam sistem kewarisan yang berlaku
dalam masyarakat itu.
Uraian
di atas menunjukkan, bahwa penyebarluasan dan pelembagaan hukum kewarisan Islam
itu telah berlangsung. Hal itu terbukti dengan adanya konsep sumun yang
telah dikenal dan melembaga. Walau demikian, penerimaan dan penyelarasan
terhadap gagasan itu terpaut dengan sistem sosial yang dianut, yaitu dengan
kaidah dan struktur sosial masyarakat setempat. Hal ini menunjukkan, pola
distribusi harta peninggalan mengalami keragaman. Sumun menerima
unsur lain, sebagai ‘illat sehingga bersifat luwes. Ia beralih
kedudukan, dari hak yang memola menjadi pemberian yang “tidak memola” .
Dari
sejumlah ilustrasi di atas, terbuka peluang untuk dilakukan sejumlah penelitian
terhadap aspek hukum dan pranata sosial pada masyarakat Sunda di Jawa Barat
ini. Penelitian terhadap aspek-aspek lain, seperti telah disebutkan di muka,
juga dapat dilakukan sesuai dengan permasalahan yang ada. Tinggal siapa yang
melakukan dan kapan penelitian itu dilakukan? Jawabannya dikembalikan kepada
para peneliti, akademisi, atau intelektual yang memiliki ketertarikan dan
kepedulian terhadap keislaman dan kesundaan itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar